Kupang, inihari.co- Di tengah lautan politik Kota Kupang, nama Jemari Yoseph Dogon atau Yos Dogon, mengalun tenang namun berdaya. Ia bukan hanya suara dari Fraksi Golkar, melainkan gema dari lorong-lorong Maulafa, sebuah gema yang selalu kembali kepada rakyat, tempat di mana seluruh kisah perjuangannya bermula.
Sejak pertama kali melangkah ke gedung DPRD Kota Kupang, Jemari Yoseph Dogon membawa keyakinan bahwa politik bukan menara gading, melainkan jembatan antara hati rakyat dan keputusan kebijakan.
Ia menapaki jalan legislatif dengan konsistensi yang jarang berubah arah, tiga periode berturut-turut: 2014–2019, 2019–2024, dan 2024–2029. Dalam Pileg 2024, suaranya kembali menggaung, 1.098 suara membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat Maulafa bukan hasil kebetulan, melainkan buah dari kedekatan yang dirawat dengan kerja nyata.
Dalam perjalanannya, Jemari dipercaya memegang sejumlah peran penting: Ketua Fraksi Partai Golkar (2019–2024), Wakil Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) pada periode yang sama, dan kini Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Kupang. Setiap jabatan ia jadikan bukan sekadar titel, tetapi alat untuk menyalurkan denyut aspirasi masyarakat ke dalam arus kebijakan kota.
“Politik bukan tempat mencari sorotan, tapi ladang pengabdian, tempat di mana kita menanam harapan dan memanen kesejahteraan,” ujarnya.
Yoseph Dogon dikenal bukan hanya karena pidatonya yang tenang namun tajam, melainkan karena langkah kakinya yang sering menapak di tanah berdebu tempat rakyat berdiri. Ia hadir dalam reses-reses kecil, mendengar suara dari posyandu, dari ruang kelas, dari pipa air yang macet dan jalan lingkungan yang retak. Ia menulis politiknya bukan dengan pena di atas kertas, melainkan dengan tindakan di atas tanah kehidupan warganya.
Di Maulafa, nama Jemari Yoseph Dogon kerap diucap dengan nada hormat. Ia disebut “terpanggil untuk melayani,” karena memilih tetap dekat dengan rakyat ketika banyak politisi justru menjauh setelah terpilih. Baginya, setiap jalan rusak adalah kalimat yang perlu diperbaiki, setiap posyandu tanpa alat kesehatan adalah tanda baca yang harus segera diisi tindakan.
Namun Jemari Yoseph Dogon tidak hanya menjemput aspirasi, ia juga menjadi pengawas yang tajam. Dalam sidang-sidang DPRD, ia sering tampil sebagai suara nurani yang tak mau diam.
Ia menyoroti keterlambatan penanganan sampah yang dijanjikan Wali Kota, mengingatkan agar janji 100 hari kerja tidak berubah menjadi janji kosong. Ia mendesak agar temuan BPK terhadap RSUD S.K. Lerik ditindaklanjuti cepat, sebab di balik laporan keuangan, ada nyawa manusia yang menunggu pelayanan yang layak.
Kritiknya tak berhenti di ruang sidang. Ia bersuara lantang membela tenaga honorer (PTT) yang terancam diberhentikan, menegaskan bahwa keputusan publik seharusnya tidak melukai pekerja yang telah lama berjuang menjaga jalannya layanan pemerintah. Dalam setiap nada tegasnya, Jemari selalu menyisipkan solusi yang konkret, karena baginya kritik tanpa arah hanyalah gema tanpa cahaya.
Latar belakang Jemari Yoseph Dogon yang sederhana membuat langkahnya tetap membumi. Ia tak datang dari istana, melainkan dari lorong-lorong kampung tempat perjuangan dimulai. Dari sana ia belajar bahwa politik sejati lahir dari perjumpaan antara nurani dan kebutuhan rakyat kecil. Kesederhanaannya menjadi sumber kekuatan moral yang membuatnya sulit tergoda oleh kemewahan jabatan.
Dalam banyak hal, perjuangan Jemari Yoseph Dogon kerap disejajarkan dengan kisah Motang Rua, pahlawan dari Manggarai yang menentang penindasan demi martabat rakyat.
Seperti Motang Rua yang mengangkat parang melawan kolonialisme, Jemari Yoseph Dogon mengangkat suaranya melawan ketidakadilan kebijakan. Ia percaya bahwa keberanian tidak harus dalam bentuk perang, tetapi bisa hadir dalam keteguhan menyuarakan kebenaran di ruang rapat legislatif.
Spirit Motang Rua itu ia bawa ke dunia politik modern: berani menegur pemerintah ketika lalai, berani menagih janji yang tertunda, dan berani menatap mata rakyat ketika bicara tentang harapan. Dengan cara itulah, ia mengikat benang merah antara sejarah perlawanan masa lalu dan pengabdian masa kini.
Bagi Jemari Yoseph Dogon, politik adalah kerja sunyi yang panjang. Ia tidak mencari sorak-sorai, melainkan perubahan kecil yang nyata, lampu jalan yang menyala, posyandu yang berfungsi, sekolah yang layak.
“Kesejahteraan rakyat tidak harus spektakuler, yang penting bisa dirasakan,” tuturnya.
Kini, di tengah derasnya arus politik pragmatis, sosok Jemari Yoseph Dogon hadir seperti angin yang tetap membawa aroma ketenangan, tulus, dan menghidupkan. Ia membuktikan bahwa di balik seragam kuning Golkar dan meja parlemen yang megah, masih ada ruang bagi politik yang berakar pada cinta dan keberanian untuk melayani. (Yantho Sulabessy Gromang)
Discussion about this post