
Sejarah, inihari.co- Kabupaten Alor, adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini terdiri dari Sembilan pulau berpenghuni dan sebelas pulau tak berpenghuni. Pulau-pulau yang berpenghuni terdiri dari Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Terewang, Pulau Ternate, Pulau Kepa, Pulau Buaya, Pulau Kangge dan Pulau Kura. Sedangkan sebelas pulau tidak berpenghuni adalah Pulau Sikka, Pulau Kapas, Pulau Batang, Pulau Lapang, Pulau Rusa, Pulau Kambing, Pulau Watu Manu, Pulau Batu Bawa, Pulau Batu Ille, Pulau Ikan Ruing dan Pulau Nubu.
Berdasarkan sejarah tutur yang beredar di masyarakat Alor, kerajaan tertua di Kabupaten Alor adalah kerajaan Abui yang terletak di pedalaman pegunungan Alor (Pulau Alor) dan kerajaan Munaseli yang terletak di ujung timur pulau Pantar (Pulau Pantar). Suatu ketika, kedua kerajaan ini terlibat dalam sebuah Perang Magic. Munaseli mengirim lebah ke Abui, sebaliknya Abui mengirim angin topan dan api ke Munaseli. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Munaseli. Konon, tengkorak raja Abui yang memimpin perang tersebut saat ini masih tersimpan dalam sebuah goa di Mataru.
Kerajaan berikutnya adalah kerajaan Pandai yang terletak dekat kerajaan Munaseli dan Kerajaan Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar.
Khusus untuk Munaseli dan Pandai yang bertetangga, mereka akhirnya terlibat dalam sebuah perang hingga Munaseli terpaksa meminta bantuan kepada raja kerajaan Majapahit yang sebelumnya kalah perang melawan Abui.
Sekitar awal tahun 1300-an, satu detasmen tentara bantuan kerajaan Majapahit tiba di Munaseli, tetapi yang mereka temukan hanyalah puing-puing kerajaan Munaseli sedangkan penduduknya telah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor dan sekitarnya.
Peristiwa pengiriman tentara Majapahit ke Munaseli inilah yang melatarbelakangi disebutnya Galiau (Pantar) dalam buku Negarakartagama karya Empu Prapanca yang ditulis pada masa jaya kejayaan Majapahit (1367). Buku yang sama juga menyebut Galiau Watang Lema atau daerah-daerah pesisir pantai kepulauan.
Berdasarkan catatan Antonio Pigafetta, seorang ilmuwan dan penjelajah asal Venesia, pada 9 sampai 25 Januari 1522, pulau Alor-Pantar dikunjungi oleh kapal Victoria, yakni sisa terakhir dari armada Magellan. Antonio menulis bahwa ketika sampai ke Alor-Pantar, ia menemukan penduduk pulau ini buas seperti hewan dan makan daging manusia. Mereka tidak mempunyai raja dan tidak berpakaian. Mereka hanya memakai kulit kayu, kecuali kalau pergi ke medan perang (A.D.M.Parera : 1994).
Menurut Antonio Pigafetta, untuk mempertahankan dan memperkuat diri dari muka, belakang, sisi kiri dan kanan, orang Alor-Pantar memakai kulit kerbau yang dihiasi dengan kulit-kulit siput, taring babi dan buntut kulit kambing terikat pada muka dan belakang. Rambut mereka diberkas tinggi ke atas dengan memakasi semacam batang rumput panjang yang ditusuknya dari sisi ke sisi. Janggut mereka dibungkus dengan daun dan dimasukkan ke dalam batang bambu.
Berdasarkan sejarah, pada masa kekuasaan Portugis, Portugis di Alor hanya terbatas pada pengibaran bendera pada beberapa daerah pesisir, seperti di Kui, Mataru, Batulolong, Kolana, dan Blagar. Begitu pula pada masa awal pendudukan Belanda, hanya terbatas pada pengakuan atas penguasa-penguasa yang berada di pesisir dan pada penempatan seorang Posthouder di Alor Kecil, tepatnya di pintu teluk Kabola pada tahun 1861.
Di masa pendudukan Belanda di tahun 1910 -1916, Belanda banyak mendapat tantangan dari rakyat Alor-Pantar. Kerajaan-kerajaan yang terkenal sering melakukan perlawanan adalah Kerajaan Bunga Bali, Kerajaan Kui, Kerajaan Kolana, Kerajaan Pureman, Kerajaan Mataru, Kerajaan Batulolong, Kerajaan Baranusa, Kerajaan Pandai, dan Kerajaan Blagar. Namun, Belanda dengan devide et impera (Politik pecah belah atau politik adu domba) dan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) akhirnya berhasil menaklukkan para raja tersebut. Dari 9 kerajaan yang sering melakukan perlawanan, Belanda akhirnya melakukan perampingan hingga tertinggal 4 kerajaan, yakni Kerajaan Kui, Kerajaan Alor Pantar, Kerajaan Kolana, dan Kerajaan Batulolong. Dengan demikian, Belanda semakin mudah melakukan pengawasan.
Usai Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hingga penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1948-1950, Pemerintah Republik Indonesia menempatkan Ludgerus Poluan sebagai Utusan Pemerintah Daerah di Alor-Pantar yang kemudian diganti menjadi Kepala Pemerintahan Setempat.
Setelah penyerahan kedaulatan, Kepala Pemerintahan Setempat atau KPS Alor dijabat oleh Hendrik Rihi Kanadjara (1950-1951), J.M.Tawa (1951-1954), Imanuel Litamahuputi (1954-30 September 1958), Johan Hendrik Ahab (30 September 1958-18 Desember 1958), dan Hendrik Soleman Giri (18 Desember 1958-1959) lalu Syarif Abdullah (1959- 1960). Berdasarkan Undang-Undang No.69 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No.122) Tentang pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), maka pada 20 Desember 1958 terbentuklah Kabupaten Alor secara resmi. (Yantho)
(Sumber: Diambil dari berbagai sumber)
Discussion about this post