
Kupang, inihari.co- Mendengar bahwa lokasi hunian mereka yang dikenal dengan nama Karang Dempel atau KD akan ditutup Walikota Kupang pada awal tahun 2019 nanti, seluruh Pekerja Seks Komersial (PSK) di KD merasa kebingungan karena mengaku belum ada sosialisasi langsung yang dilakukan pemerintah kepada mereka hingga hari ini (Jumat/ 02/11/2018).
Berdasarkan pengakuan, memang ada beberapa oknum yang turun ke lokasi dengan maksud untuk sosialisasi, namun bahasa yang digunakan oleh oknum tersebut dinilai hanya membuat para penghuni KD menjadi terintimidasi. (Berita Terkait: Rencana Penutupan KD Tak Miliki Dasar Hukum Yang Kuat)
“Ada oknum yang datang menyampaikan bahwa pasca penutupan nanti maka para mantan PSK akan dipulangkan langsung ke rumah, bahkan diantar hingga depan pintu rumah dan disampaikan ke keluarga bahwa dipulangkan karena bekerja sebagai PSK. Ini sangat tidak manusiawi, sebab banyak dari penghuni KD yang berasal dari luar NTT, yang keluarganya tidak mengetahui pekerjaan dari Saudari atau pun Ibu Kandungnya di Kupang sini. Mereka hanya tahu bahwa Saudari atau Ibu mereka adalah pekerja swasta di Kupang, yang selalu membantu menafkahi dan menyekolahkan mereka di sana,” kata Adelia, koordinator Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) wilayah Nusa Tenggara Timur.
Selain diantar langsung ke depan rumah, menurut Adelia, oknum tersebut juga mengatakan bahwa dalam proses pengiriman kembali PSK ke tempat asal masing-masing, akan ada juga penyampaian secara langsung kepada keluarga tentang mantan PSK yang OHDA atau Orang Dengan HIV AIDS. Hal ini ditakutkan bisa menyebabkan para mantan PSK memilih kabur, ketimbang menerima hak yang dijanjikan pemerintah kepada mereka pasca lokalisasi ditutup.
“Belum lagi kami sebagai PSK nantinya akan dimasukkan ke panti rehabilitasi layaknya orang sakit setelah dipulangkan ke tempat asal. Hal ini membuat kami semua bingung, bahkan ketakutan.
Dikatakan juga bahwa kami akan disekolahkan pasca penutupan KD. Memangnya kami mau kejar tittle pendidikan untuk tingkat yang mana?” kata Amelia sembari mengaku bahwa semua penghuni KD merupakan warga Kota Kupang yang ber-KTP Kota Kupang, dan banyak yang telah terlibat dalam organisasi atau lembaga sosial, bahkan menjadi paralegal untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, sehingga seharusnya diperhatikan oleh pemerintah Kota Kupang, bukannya dikirim ke keluarga yang hanya akan memicu persoalan baru.
Menurut Adelia, sebelum dilakukan penutupan KD, seharusnya pemerintah memberikan pelatihan atau pemberdayaan terhadap para PSK, agar ketika keluar bisa mandiri dan memiliki ketrampilan serta membuka usaha sendiri. Karena, jika hanya ditutup lalu dipulangkan begitu saja, maka tanggungjawab pemerintah kepada warganya perlu dipertanyakan.
Amelia menjelaskan, pada hakikatnya para PSK tidak ingin agar KD ditutup. Sebab KD memiliki pengawasannya yang jelas, yakni selalu ada pemeriksaan rutin dari pihak kesehatan yang disiapkan oleh pemerintah atau lembaga tertentu. Bila ditemukan yang OHDA di KD, maka ODHA tersebut akan mendapat pendampingan dan pemeriksaan secara rutin. Sedangkan di luar KD, belum tentu dan sudah pasti tidak ada pengawasan dari pemerintah atau lembaga tertentu, sehingga dapat dipastikan akan menjadi penyebab dan pendukung utama menyebarnya HIV AIDS di Kota Kupang.

“Pemerintah dalam pertemuan beberapa saat lalu juga mengaku tidak memiliki data lengkap terkait jumlah dan lokasi Pitrad dan Spa, sedangkan dapat kami pastikan bahwa banyak Pitrad dan Spa di Kota Kupang yang melakukan praktek prostitusi tanpa adanya pengawasan dan pemeriksaan rutin dari pihak terkait.
Belum lagi pernyataan pemerintah bahwa KD menjadi prioritas untuk ditutup, sedangkan Bole Kale dan Citra akan ditutup belakangan, juga menjadi pertanyaan, yakni mengapa tidak dilakukan penutupan secara serentak?” Jelas Adelia.
Adelia juga mempertanyakan soal jumlah penderita HIV AIDS di Kota Kupang. Ia pun meminta pemerintah serta masyarakat untuk membandingkan dengan jumlah ODHA di KD sangat sedikit dan tidak mencapai Sepuluh orang. “Lihat Atambua, mana lokalisasi? Tapi berapa tingkat HIV AIDS di sana?” katanya.
Terkait pernyataan Walikota bahwa KD sudah terdaftar di Kementerian sebagai Lokalisasi, Adelia dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada tempat Lokalisasi resmi di Kota Kupang. KD pada dasarnya adalah tempat penginapan yang menjadi lokasi praktek pelacuran. Ia juga mengatakan, jika KD telah terdaftar di Kementerian, maka dengan sendirinya program dan intervensi pemerintah bagi KD sudah berjalan. Untuk itu yang harus diperhatikan adalah tempat-tempat prostitusi ilegal atau praktek-praktek prostitusi terselubung, yang selama ini tidak terdeteksi dan bebas dari pengawasan serta pemeriksaan rutin.
Pemerintah juga diminta untuk membuat kajian terhadap dampak penutupan lokasi prostitusi, sebab kata Adelia, berdasarkan hasil penelitian dari OPSI dan Universitas Adma Jaya, usai penutupan Dolly di Surabaya, kini tingkat penyebaran HIV AIDS di Surabaya semakin tinggi dan meluas. (Yantho)
Discussion about this post