
Kupang, inihari.co- Pernyataan Elimelek Konay bahwa dirinya diberi kuasa oleh Pieter Konay untuk memediasi sekaligus mempersatukan keluarga Konay, mendapat kecaman keras dari Marthen Konay. Hal itu dikarenakan Elimelek dinilai tidak memiliki kapasitas tersebut, sebab dia bukan bermarga Konay. (Baca Berita Sebelumnya: Elimelek Konay: Tujuan Awal Saya Sebenarnya Ingin Satukan Semua Konay)
“Sebelumnya saya ingin jelaskan terlebih dahulu, bahwa ada marga Konai pakai “i” dan ada Konay pakai “y”. Dan diantara kedua marga tersebut tidak memiliki hubungan keluarga ataupun tali persaudaraan. Sehingga ketika Elimelek mengatakan ingin memediasi sekaligus mempersatukan keluarga Konay, maka wajib dipertanyakan Konay mana yang dia maksudkan?,” kata Marthen Konay saat ditemui di kediamannya pada Selasa, (16/02/2021).
Dikatakan, Elimelek sendiri pada dasarnya bermarga Sutay. Sebab ayahnya bernama Jakob Sutay dan ibunya bernama Eli Tedora Konai. Ayah angkat Elimelek bernama Yavet Koeanan. Kakak dari ayah angkat Elimelek bernama Arnoldus Koeanan, dengan Isterinya bernama Naomi Konai.
“Bayangkan, Tedora Konai dan Naomi Konai walau sama-sama bermarga Konai (i) saja tidak memiliki hubungan keluarga. Bagaimana mungkin Elimelek yang bermarga Sutay kini bisa menjadi bagian dari keluarga Konay (y) dan bahkan menjadi penghubung serta pemersatu keluarga Konay?,” tanya Marthen dengan wajah geram.
Marthen menjelaskan, untuk keluarga Konai (i), yang di mana merupakan marga dari Ibu Elimelek, tidak pernah melibatkan bahkan menolak Elimelek untuk ikut campur dalam urusan keluarga mereka sebab Elimelek bermarga Sutay. Untuk itu ia merasa heran ketika Elimelek dengan beraninya datang untuk ingin mengurus urusan keluarga Konay yang adalah miliknya.
“Elimelek bilang dia dapat kuasa dari Pieter Konay? Hmm, saya ingin jelaskan bahwa Pieter sendiri bukan bermarga Konay. Pieter juga pernah melakukan pemalsuan identitas hingga dirinya berurusan dengan pihak hukum,” terang Marthen.
Marthen pun menunjukkan berkas-berkas yang menurutnya sebagai bukti tindakan pemalsuan identitas yang dilakukan oleh Pieter dan Elimelek.
Berikut berkas-berkas beserta keterangannya:

Berdasarkan surat keterangan nomor 92 tahun 1988 yang dikeluarkan Gereja Masehi Injili Di Timor – Majelis Jemaat Bet’el Oesapa, diterangkan bahwa Bertholomeus (ayah Pieter), kelahiran Rote 19 Juli 1917, anak dari Daniel Johannis dan Nope Nitbani, telah dibaptis di Gereja Majelis Jemaat Bet’el Oesapa pada tanggal 30 Juli 1919.

Namun pada bulan Februari tahun 1975, muncul lagi surat baptisan dari Gereja Kota Kupang, di mana nama ayah dari Bertholomeus telah berganti menjadi Daniel Konay dengan ibu tetap bernama Nope Nitbani.
Perubahan juga terjadi pada tempat kelahiran Bertholomeus, dari awalnya lahir di Rote, namun mengalami perubahan menjadi lahir di Pene, Niki-Niki, Timor Tengah Selatan (TTS).

Sementara Pieter, Berdasarkan surat keterangan nomor 42 tahun 1988 yang dikeluarkan Gereja Masehi Injili Di Timor – Majelis Jemaat Nekbaun – Riumata, diterangkan bahwa dirinya kelahiran Roeneke – Riumata 04 Juni 1947, anak dari Bertholomeus Johannis dan Maria Nepa, telah dibaptis di Gereja Majelis Jemaat Nekbaun – Riumata pada tanggal 19 Nopember 1947.
“Namun sekarang dia (Pieter) ganti tahun kelahiran menjadi 04 Juni 1948. Ada apa?,” kata Marthen sembari menceritakan bahwa Pieter pernah memalsukan surat baptis sehingga dirinya di penjara akibat perbuatan tersebut.
“Ini semua ulahnya Pieter. Jika dia (Pieter) ingin mengulangi lagi perbuatan yang sama pada waktu yang berbeda, maka saya akan angkat lagi permasalahan ini bahwa dia ingin menggunakan marga orang lain untuk merugikan orang lain,” tegas Marthen.

Marthen pun kembali menerangkan terkait perubahan marga yang dilakukan Elimelek Sutay. Di mana bukan Elimelek sendiri yang telah berganti dari Sutay menjadi Konai (i) kemudian menjadi Konay (y), akan tetapi anaknya Elimelek bernama Hesty Susanty Konay yang sesuai Kartu Keluarga (KK) kelahiran Rote tahun 1996, juga sudah menggunakan marga Konay (y). “Itu kan marga saya. Hesty itu lahir 1996, di mana Elimelek masih bermarga Sutay saat itu,” ujar Marthen.
Ia pun menjelaskan soal prosedur pengangkatan anak secara adopsi, yaitu batas umur harus 18 tahun. Orang tua yang melakukan pengangkatan anak juga wajib memiliki finansial cukup. Anak yang diangkat juga adalah anak yang membutuhkan perlindungan. “Bukan sudah berusia 47 tahun baru pindah marga. Waktu itu sudah dipertanyakan oleh kepala dusun, tapi jawab Elimelek bahwa alasannya tidak ada. Namun saat itu ternyata Elimelek sibuk urus tanah Konay,” ungkapnya.
Disinggung soal pernyataan Elimelek bahwa dirinya diberikan kuasa oleh Pieter untuk memediasi keluarga Konay, Marthen menanggapi dengan wajah heran bercampur marah. Sebab menurut Marthen, Pieter Konay alias Piter Johannis adalah pihak yang tereksekusi sesuai putusan pengadilan.
“Pieter telah kalah perkara tahun 1996. Bagaimana bisa pada tanggal 1 Oktober 2014 Pieter memberikan kuasa kepada Elimelek untuk menjual tanah Konay serta memediasi dan melakukan segala macam hal yang berkaitan dengan keluarga konay?,” katanya keheranan.
Lebih lanjut Marthen menceritakan, Pieter pada tahun 2018 pernah mengajukan gugatan perdata nomor 78 dengan kuasa hukum Herri Batileo dan Nita Juwita. Dalam perkara itu Pieter menolak bahwa eksekusi yang dilakukan tidak sah. Tetapi dengan putusan Pengadilan Negeri Kupang bahwa eksekusi sudah sah dan berharga, maka tuntutan mereka ditolak. Pieter kemudian melakukan banding, akan tetapi ditolak Pengadilan Tinggi NTT. Pieter lalu berganti pengacara ke Merry Sorukh. Namun perjalanan perkara hingga tingkat kasasi, Mahkamah Agung tetap memperkuat Pengadilan Negeri kupang dan pengadilan tinggi NTT, yakni menolak gugatan Pieter sesuai putusan MA Nomor 1505 tanggal 17 Juni 2020.
Sementara terkait putusan Makhkamah Agung nomor 3171.K/Pdt/1990 tanggal: 18 Juni 1996 yang dikatakan Elimelek sebagai dasar pengklaiman hak atas tanah Konay oleh Pieter, menurut Marthen, itu akibat pemahaman yang salah dari Pieter dan Elimelek.
“Di putusan nomor 3171 situ tertulis penggugat berasal dari keturunan Hendrik Konay, sedangkan tergugat berasal dari Beti Bako Konay. Sekarang silahkan dilihat dan diperiksa sendiri, di mana di dalam putusan dari tahun 1951 hingga sekarang yang menyebutkan bahwa objek perkara merupakan warisan dari Beti Bako Konay? Tidak ada satu pun yang menyebutkan hal tersebut. Jikalau menyebutkan, itu hanyalah nama Yohanis Konay (keturunan Hendrik Konay) saat Victoria Anin berperkara mempertahankan tanah milik Yohanis Konay yang adalah pamannya, yang juga merupakan kakek dari Esau Konay, ayah saya,” jelas Marthen.
“Jadi Piet bersama Elimelek silahkan cari warisan yang merupakan milik Beti Bako Konay untuk mereka urus. Jangan datang ganggu tanah milik kami keturunan Hendrik Konay,” tutupnya. (Yantho)
Discussion about this post