Labuan Bajo, inihari.co- Tak terima dirinya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggelapan jabatan, RK selaku Direktur PT Omsa Medic Bajo mempraperadilankan Polres Manggarai Barat dalam hal ini Satuan Reskrim Polres Manggarai Barat. Melalui kuasa hukum – Sumarno, SH, gugatan praperadilan dari RK diajukan ke Pengadilan Negeri Labuan Bajo, Senin (14/08/2023).
Sebelumnya RK ditetapkan sebagai tersangka setelah adanya surat laporan polisi yang dilakukan oleh AG selaku kuasa hukum dari rekan bisnis RK pada PT Omsa Medic Bajo yakni Desak Putu Murni. Penetapan tersangka yang dilakukan penyidik Satreskrim Polres Mabar cacat prosedural.
Berikut kronologi kasus ini bermula saat Komisaris PT Omsa Medic Bajo, Desak Putu Murni secara sepihak melakukan audit internal keuangan perusahaan tanpa sepengetahuan Rekan bisnisnya RK yang juga memiliki sebagian saham pada perusahan tersebut.
Hasil audit tersebut menunjukan bahwa baik RK maupun pihak manajemen pengelola klinik kesehatan tidak transparan dalam memberikan data. Setelah dilakukan pemeriksaan kembali dengan melibatkan RK dan manajemen, ditemukan fakta bahwa auditor tersebut telah memasukan dua kali pengeluaran sehingga seolah-olah muncul selisih dalam laporan keuangan PT. OMSA MEDIC BAJO, sehingga telah dikirimkan ulang revisi penghitungan audit tersebut melalui email ke semua pihak dengan hasil yang menyatakan perhitungan telah seimbang (balance).
Namun pada tanggal 30 Agustus 2022 lalu, RK justru dilaporkan ke Polisi oleh AG yang disebut sebagai kuasa dari Desak Putu Murni. RK dilaporkan dengan dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 KUHP pada SPKT Polres Manggarai Barat dengan Laporan Polisi bernomor: LP/B/221/VIII/ 2022/SPKT/POLRES MANGGARAI BARAT/POLDA NUSA TENGGARA TIMUR.
Kuasa Hukum RK – Sumarno mengatakan, Satreskrim Polres Mabar seharusnya tidak memproses laporan polisi yang dilakukan oleh AG yang yang sama sekali tidak memiliki ikatan bisnis dengan kliennya. Legal standing pelapor dinilai bertentangan dengan ketentuan pasal 108 KUHAP dan Perkap no 6 tahun 2019 pasal 1 ayat 14 Jo. Ayat 22.
Menurut Sumarno, kejanggalan lain dalam penetapan RK sebagai tersangka adalah tidak adanya surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada terlapor yang dilakukan oleh penyidik Reskrim Polres Mabar. Hal ini menjadi cacat hukum karena telah bertentangan putusan MK no. 130/PUU-XIII/2015 tentang kewajiban penyidik mengirimkan SPDP baik kepada JPU, Terlapor, maupun Korban.
“Anehnya, dalam penanganan perkara ini, Polres Manggarai Barat justru diketahui telah 3 kali menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dengan terlapor dan untuk tindak pidana yang sama. Hal ini jelas tidak lumrah dan semakin membuat janggal dimana sesuai KUHAP maupun peraturan pendukung lainnya, SPDP hanya diterbitkan satu kali terkecuali terdapat pelaku baru atau terdapat tindak pidana baru yang ditemukan dari hasil pengembangan atas penanganan perkara,” ucap Sumarno.
Hal lain yang juga dianggap janggal dan cacat prosedural adalah ketika surat peninjauan kembali atas penetapan RK sebagai tersangka dikirim kepada Kapolres Manggarai Barat, surat tersebut tidak diindahkan malah nama RK ditetapkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Untuk itu Sumarno berharap Majelis Hakim Pengadilan Labuan Bajo mengabulkan permohonan kliennya yaitu mencabut status tersangka dan DPO, serta menghentikan penyidikan demi hukum; dan rehabilitasi terhadap nama baik terlapor. (*/Rls)
Discussion about this post