
Taebenu, inihari.co- Akibat belum adanya tindakan ganti rugi oleh pemerintah terhadap pemilik lahan pemukiman dan pertanian di lokasi pembangunan Bendungan Manikin, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sebanyak 32 Kepala Keluarga (KK) di Desa Baumata Timur, Kecamatan Taebenu yang terdampak kini mengalami krisis ekonomi.
Para warga yang terdampak pembangunan Bendungan Manikin, sampai hari ini telah kehilangan rumah tempat tinggal dan lapangan pekerjaan sebagai petani maupun peternak. Hal itu disebabkan karena lahan pemukiman dan lahan perkebunan, pertanian, serta lahan pakan ternak yang mereka manfaatkan selama ini sebagai sumber kehidupan ekonomi keluarga, telah hilang bersamaan dengan lajunya pembangunan bendungan sejak 2018 lalu.
Sebagai bentuk protes akibat belum adanya realisasi ganti rugi lahan tersebut, warga melakukan pemblokiran jalan pada akses masuk menuju bendungan. Hasilnya, sudah seminggu aktivitas pembangunan bendungan senilai 1 triliun rupiah tersebut terhenti atau lumpuh total. Tidak ada satupun kendaraan proyek yang beroperasi, begitu pun pekerja tidak satupun yang beraktivitas.
Tokoh Masyarakat Baumata Timur – Daniel Baitanu, saat ditemui di lokasi pemblokiran pada minggu (13/02/2022), mengatakan, pada dasarnya seluruh masyarakat Baumata Timur, baik yang lahannya terdampak pembangunan bendungan Manikin maupun yang tidak, sangat berterima kasih kepada pemerintah yang sudah melakukan pembangunan bendungan demi pemenuhan kebutuhan air bersih dan juga irigasi bagi masyarakat Kabupaten Kupang dan sekitarnya.
Namun yang disayangkan, pembangunan tersebut telah mengorbankan mereka sebagai pemilik lahan, sedangkan manfaat dari keberadaan bendungan tidak bisa mereka nikmati, sebab yang menikmati adalah yang berlokasi di dataran rendah di bawah bendungan. Orang lain menjadi sejahtera dengan adanya bendungan, namun pemilik lahan kehilangan segalanya tanpa bisa menikmati manfaat bendungan.
“Sudah 3 tahun lahan pertanian kami hilang. Tanaman produktif seperti Kelapa dan Pisang pun hilang. Belum lagi pohon bernilai ekonomis seperti Jati, Gmelina dan Mahoni yang biasanya kami jual apabila terdesak kebutuhan, juga sudah hilang. Lahan Lamtoro Gung seluas 15 hektar yang biasa kami manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan ternak, kini telah tiada. Hasilnya ternak kami banyak yang kurus dan bahkan mati,” kata Daniel.

Menurutnya, aksi pemblokiran akses jalan menuju Bendungan Manikin dilakukan sebagai bentuk protes yang bersumber dari rasa kecewa terhadap pemerintah yang belum realisasi ganti rugi, sedangkan sebelumnya sudah terbangun komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat soal ganti rugi tersebut. Sehingga pemblokiran akan terus dilakukan sampai ganti rugi itu terealisasi.
“Kami masyarakat kecil, namun kami akan tetap mempertahankan hak ulayat milik kami yang belum diganti rugi oleh pemerintah. Kami tidak punya apa-apa untuk berperkara secara hukum. Namun selama kebutuhan makan minum kami dihentikan maka pekerjaan ini pun harus tetap berhenti. Kami tidak memiliki jalan lain. Jika pemerintah memang ingin kami sengsara maka kami juga siap hentikan pekerjaan biar rugi sama-sama,” ujarnya.
Daniel menjelaskan, ada sekitar 40 hektar lahan masyarakat yang masuk dalam lokasi pembangunan bendungan. Untuk itu pihaknya berharap agar pemerintah Kabupaten Kupang, pemerintah Provinsi NTT, maupun pemerintah Pusat beserta Balai Wilayah Sungai (BWS) hingga Kementerian PUPR dapat melihat dampak pembangunan tanpa realisasi yang kini terjadi pada masyarakat. Jangan hanya fokus membangun tanpa memberikan solusi terhadap persoalan yang ada.
“Terus terang di lokasi pembangunan bendungan juga ada pemukiman dan fasilitas Gereja yang letaknya tepat di tengah lokasi penampungan air. Jika mereka tidak direlokasi dan pembangunan bendungan berjalan terus, maka secara sengaja pemerintah memang ingin mengubur rakyatnya di lokasi bendungan tersebut. Mereka tidak tahu harus pindah ke mana, karena rumah dan lahan pertanian ada di situ. Jika keluar tanpa ganti rugi maka mereka pasti akan mati kelaparan di jalanan,” ungkapnya.
Sementara itu, Goris Baitanu selaku petugas keamanan yang berjaga di pos masuk bendungan Manikin, mengatakan bahwa benar aktivitas pekerjaan bendungan dan bahkan lalu lintas kendaraan dari dalam maupun luar lokasi sudah dihentikan selama satu minggu sesuai tuntutan masyarakat. Namun dirinya mengaku, keadaan di lokasi pemblokiran tetap aman dan kondusif, sebab warga yang protes melakukannya dengan damai. (Yantho Sulabessy Gromang)
Discussion about this post