
Kupang, inihari.co- Kata cacat sering sekali kita dengar dan mungkin kita sendiri gunakan dalam keseharian ketika bicara tentang orang-orang yang menggunakan alat bantu untuk berjalan, menggunakan alat bantu mendengar. Bahkan media sebagai sarana informasi dan pengetahuan juga tidak jarang menggunakan istilah cacat terhadap orang yang memiliki hambatan fisik mau pun mental tersebut.
Tanpa kita sadar, kata-kata atau istilah tersebut telah menyakiti mereka yang memiliki atau mengalami kekurangan fisik mau pun mental. Sebab kata cacat berarti kurang atau tidak sempurna, tidak standar dan semacamnya, sedangkan semua manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang sempurna.
Saat ini, penggunaan kata yang tepat bagi orang-orang yang memiliki hambatan fisik dan mental adalah Difabel. Istilah penyandang Difabel terdengar lebih sopan dan halus untuk menjelaskan kondisi orang yang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Ketua Perkumpulan Daksa Kristiani, Serafina Bete, dalam kegiatan pelatihan jurnalis tentang inklusi disabilitas dan kesehatan mata di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, mengatakan bahwa selama ini penyandang Difabel masih sering mendapat perlakuan diskriminatif secara fisik dan mental melalui perkataan dan tindakan oleh masyarakat, termasuk media massa melalui penggunaan istilah-istilah dalam pemberitaan yang dinilai kurang pas dan membuat tidak nyaman.
“Kata-kata atau istilah yang sering digunakan orang termasuk media massa yang sebenarnya telah menyakiti perasaan kami itu antara lain kata cacat, sakit dan kurang beruntung,” kata Serafina, Rabu (03/03/2021).
Dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Yayasan Tanpa Batas (YTB) Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, Serafina bahkan mengungkapkan bahwa bantuan yang diberikan oleh orang kepada penyandang Difabel tanpa sebelumnya bertanya terlebih dahulu, juga sering membuat penyandang Difabel tersebut merasa tidak nyaman serta direndahkan.
“Ada yang membantu tapi tidak bertanya, itu akan membuat merasa tidak nyaman. Apalagi di tempat umum. Sebab tidak semua penyandang Difabel yang membutuhkan bantuan. Untuk itu, sebelum memberikan bantuan bagi penyandang Difabel sebaiknya perlu bertanya terlebih dahulu apakah mereka membutuhkan itu atau tidak. Mereka juga berhak untuk katakan tidak atau menolak bantuan sehingga jangan memaksa mereka untuk harus dibantu,” terangnya.
Dalam berinteraksi dengan penyandang Difabel, perlu juga diperhatikan tata cara yang baik dan benar. Seperti jika ingin berbicara dengan penyandang Daksa, baiknya bicara sambil duduk agar posisi menjadi sejajar dengan mereka.
Dengan penyandang Rungu, bicaranya dengan posisi berhadapan, sebab mereka fokus dengan gerak bibir untuk mengerti apa yang dibicarakan, sehingga diperlukan juga mulut yang kosong tanpa makanan jika ingin berkomunikasi dengan mereka.
Sementara dengan penyandang Netra; jika ingin membantu menuntun mereka, harusnya bertanya terlebih dahulu. Jika mereka mengiyakan, maka cara menuntun haruslah dengan membiarkan mereka yang memegang tangan kita.
“Untuk Netra, biarkan dia yang memegang tangan si penuntun. Ketika di tempat sempit, penuntun harus melingkarkan tangan ke belakang, biar si Netra tahu bahwa tempat di depan yang akan dilalui itu sempit. Jangan lupa untuk menyebutkan jumlah anak tangga naik dan turun ketika harus dilewati. Sebutkan juga arah benda yang ingin diambil si Netra sesuai petunjuk arah jarum jam,” jelas Serafina.
Serefina juga menyinggung soal pembangunan aksesibilitas oleh pemerintah di tempat-tempat umum. Menurutnya aksesibilitas sangat penting keberadaannya, agar semua orang bisa beraktivitas dengan aman, mudah dan mandiri tanpa diskriminasi.
Dikatakan, bukan hanya penyandang Difabel, tapi semua orang tanpa terkecuali juga akan mengalami keterbatasan untuk beraktivitas seiring bertambahnya usia. Tubuh akan mengalami penurunan massa otot ketika tua, seperti penglihatan menurun, pendengaran menurun, dan lain sebagainya. “Untuk itu, pemerintah harus segera melakukan pembangunan aksebilitas yang memadai, demi menjamin keselamatan, kemudahan, kegunaan dan kemandirian bagi penyandang Difabel dan Manula,” tutupnya.
Sementara itu, Tommy Aquino yang adalah Redaktur media online RakyatNTT.Com, dalam pemaparan materinya yang berjudul “Pers Ramah Difabel” mengatakan, sampai hari ini dunia jurnalis baru memiliki pedoman tentang pemberitaan ramah disabilitas setelah Dewan Pers meluncurkan PPRD atau pedoman pemberitaan ramah disabilitas tersebut pada bulan Februari 2021 lalu.
Menurutnya, PPRD atau pedoman pemberitaan ramah disabilitas tersebut kini menjadi pedoman bagi insan pers dalam menulis pemberitaan terkait Difabel, sebagaimana butir-butir didalamnya yang berbunyi bahwa wartawan harus menempatkan penyandang disabilitas sebagai subjek dalam pemberitaan dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan empati, tidak melakukan stigma dan stereotip pada penyandang disabilitas.
Tommy berharap dengan adanya PPRD maka pemberitaan-pemberitaan menyangkut penyandang Difabel juga semakin baik, termasuk penggunaan kata yang sesuai dan nyaman bagi para Difabel. Pemberitaan mengenai penyandang Difabel tersebut juga diharapkannya bisa menjadi topik yang penting agar kebutuhan pelayanan umum bagi Difabel bisa terpenuhi secara baik.
“Hindari menggunakan kata atau istilah cacat, sakit, kelainan dan kurang beruntung untuk ditujukan bagi para penyandang Difabel. Sebaiknya gunakan istilah orang yang memiliki hambatan fisik, hambatan intelektual, atau orang yang memiliki gangguan pendengaran dan lain sebagainya,” ujarnya sembari menunjukkan data jumlah penyandang Difabel di Indonesia berdasarkan data BPS tahun 2020, yakni sebanyak 22,5 juta orang dari total data sensus penduduk sebanyak 270,2 juta orang.
Dirinya juga mengaku bahwa berdasarkan Survei Indeks Kemerdekaan Pers, dari tahun 2016 sampai 2020, skor perlindungan terhadap penyandang Difabel meningkat. Namun peringkat indikator tersebut tetap paling rendah dibandingkan dengan indikator lain. “Topik Difabel sering terpinggirkan oleh media. Ini juga mempengaruhi skor perlindungan terhadap mereka,” tutupnya. (Yantho)
Discussion about this post