
Kupang, inihari.co- Sebagai warga negara yang baik, yang taat terhadap hukum yang berlaku di Indonesia, mantan Walikota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jonas Salean sebagai terdakwa dalam kasus dugaan pembagian aset tanah pemerintah Kota Kupang, mengaku tetap menghormati dan menghargai tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 12 tahun penjara, walaupun JPU sendiri belum bisa buktikan keberadaan sertifikat asli dari objek perkara.
Jonas Salean yang ditemui usai sidang pembacaan tuntutan oleh JPU Kejati NTT di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kupang pada Senin, 15 Februari 2021, mengatakan bahwa 12 tahun tuntutan penjara dari JPU bukanlah hal yang ringan, apalagi dirinya juga dituntut membayar denda sebesar 1 miliar rupiah Subsidair 6 bulan kurungan, ditambah wajib membayar Uang Pengganti (UP) kerugian keuangan negara sebesar 750 juta rupiah atau di penjara selama 6 tahun.
“Semua tuntutan Jaksa berdasarkan amar tuntutan yang dibacakan Jaksa Hendrik Tiip, bukanlah hal yang ringan buat saya. Namun sebagai terdakwa, saya tetap menghormati dan menghargai semuanya itu. Saat ini, saya hanya fokus untuk melakukan pembelaan. Selanjutnya, biarkan Hakim yang memutuskan sesuai keyakinannya,” kata Jonas Salean.
Dikatakan, dirinya tidak menduga akan mendapat tuntutan sebesar itu dari JPU. Terlebih sampai hari ini JPU sendiri belum bisa membuktikan keberadaan sertifikat asli dari tanah tersebut, dan tanah itu juga bukan merupakan aset tanah milik pemerintah Kota Kupang.
Dalam sidang yang berlangsung selama ini, Jonas Salean juga dikatakan telah menyebabkan kerugian negara sebesar 66 miliar rupiah. Namun kerugian tersebut diharapkan Jonas agar bisa dibuktikan, bukan hanya perhitungan tanpa bukti nyata dari keberadaan uang tersebut.
“Ini kan tanah. Dan Walikota Jefri Riwu Kore sudah menarik kembali semuanya. Terus kerugian negara di bagian mana? Uang 66 miliar rupiah hasil perhitungan Jaksa itu siapa yang pegang? Bisa dibuktikan kah? Kecuali tanah itu benar saya jual dan uangnya saya dapat,” ujar Jonas.
Menurut Jonas, apa yang dia lakukan sebaliknya telah menambah kas daerah Kota Kupang. Sebab dari tanah tersebut, penerima kapling telah melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5 juta hingga 12 juta rupiah, ditambah biaya administrasi sebesar 200 ribu rupiah.
Jonas Salean menegaskan, dirinya tidak melakukan perbuatan yang merugikan negara dengan membagi-bagikan aset tanah milik daerah. Sebab tanah itu tidak dibeli atau diperoleh berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan perolehannya juga tidak melalui perolehan-perolehan yang sah seperti Hiba dari Pusat atau Provinsi dan dilengkapi dengan dokumen pembuktian.
“Saya dituduh tidak daftarkan tanah tersebut sebagai aset daerah. Sedangkan tanah dengan besaran awal seluas 77,8 hektar itu, 75 hektar diantaranya sudah dibagi-bagi oleh Walikota-Walikota sebelumnya. Mengapa saat tinggal 2 hektar di masa kepemimpinan saya, saya disalahkan karena tidak mendaftarkan tanah tersebut? Mengapa pembagian tanah oleh Walikota-Walikota sebelumnya tidak bermasalah, sedangkan mereka menghabiskan 75 hektar? Sebab tanah itu bukan aset daerah,” ungkapnya.
“Sisa 2 hektar yang JPU permasalahkan, itu mau didaftar bagaimana? Sebab jika harus didaftar, maka harus dilakukan secara menyeluruh atau satu kesatuan. Bagaimana bisa saya mendaftar semua sedangkan ribuan rumah rakyat sudah berdiri di atas tanah tersebut sebelum masa kepemimpinan saya? Itu kan hal yang mustahil dan tidak mungkin dilakukan,” tutupnya. (Yantho)
Discussion about this post