
Kupang, inihari.co- Rencana pembangunan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya di Kelurahan Manulai – Kecamatan Alak, menuai kontroversi. Pasalnya, peletakan batu pertama oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia – Terawan Agus Putranto pada Kamis, 03 Desember 2020, dilakukan di atas tanah atau lahan sengketa yang sudah terdaftar pada Pengadilan Negeri Kelas 1 A Kupang pada Agustus lalu, dengan nomor register perkara 208/PDT.G/2020/PN Kupang; penggugat atas nama Yohanis Limau.
Biyante Singh selaku Kuasa Hukum Yohanis Limau, mengatakan, pemerintah Provinsi NTT seharusnya bisa menghormati proses hukum yang sedang berjalan, yakni dengan tidak melakukan aktivitas pada obyek perkara, termasuk menggelar acara peletakan batu pertama oleh Menteri Kesehatan untuk pembangunan RSUP.
“Saya selaku warga Kota Kupang dasarnya sangat mendukung pembangunan RSUP di Kota Kupang, sebab itu menyangkut kepentingan orang banyak. Akan tetapi cara yang dilakukan harus santun dan sesuai aturan yang berlaku. Pemerintah NTT seharusnya tidak boleh bersikap anarkis dan otoriter, dengan mengabaikan proses hukum pada tanah atau lahan yang masih sementara berlangsung,” ungkap Biyante, Sabtu (05/12/2020).
Biyante pun mempertanyakan soal klaim kepemilikan lahan oleh pemerintah Provinsi NTT beserta putusan-putusan yang disertakan pemerintah. Dirinya mempertanyakan tentang bukti kemenangan pemerintah Provinsi atas tanah tersebut, termasuk nomor perkaranya.
“Bukti kemenangan pemerintah Provinsi NTT dalam perkara atas tanah tersebut terdaftar dalam perkara nomor berapa? Sebab untuk perkara tahun 2016 dan perkara lain-lain yang ditunjukkan oleh pemerintah Provinsi NTT, tidak ada kaitannya dengan perkara nomor 208 yang kami daftarkan,” ujar Biyante.
Menurutnya, oknum yang memberikan pelepasan hak kepada pemerintah atas tanah yang kini menjadi lokasi pembangunan RSUP itu sangat diragukan kebenarannya sebagai ahli waris dari keluarga Limau. Sebab yang memberikan pelepasan hak kepada pemerintah adalah Thomas Penu (alm) di tahun 1983, yang bukan sebagai ahli waris dari keluarga Limau.
“Dalam PH (Pelepasan Hak) itu juga tidak diuraikan batas-batas tanah secara jelas. Terlebih, ada akta Van Dading pada tahun 2019, yakni akta perdamaian yang dibuat secara sah, yang mengikat dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan, dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak dapat dilakukan upaya banding. Dan pada saat itu ahli waris dari keluarga Penu sudah mengakui bahwa tanah tersebut milik Limau,” terangnya.
Biyante pun menduga, peletakan batu pertama untuk pembangunan RSUP oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia di atas tanah atau lahan perkara tersebut bisa terjadi karena adanya penipuan yang dilakukan pemerintah Provinsi NTT terhadap pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini terhadap Presiden maupun Menteri Kesehatan. “Saya yakin mereka tidak menyampaikan fakta yang sebenarnya soal status tanah tersebut,” tutup Biyante. (Yantho)
Discussion about this post